DESA WIRU KECAMATAN BRINGIN KABUPATEN SEMARANG

: Jl. Diponegoro no. 16 Km 08, Desa Wiru 50772 Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang | : | : wirudesa@gmail.com

ASAL USUL DESA WIRU

Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertama kali membuka Desa Wiru. Dahulu kala datang beberapa orang tamu ke Wiru, tetapi ketika ditanya mengenai asal dan nama mereka tidak mau mengaku. Akhirnya oleh Mertongasono, sebagai sesepuh di desa tersebut, tamu yang ternyata kakak beradik ini diberi nama Wongsoaito dan Wongsongerto.

Kemudian beberapa waktu setelahnya datang tamu lain ke Wiru untuk berguru, ia diberi nama Singonjelmo. Dia hidup di Wiru selama beberapa tahun sebelum akhirnya melakukan babat alas. Kurang lebih selama tujuh tahun setelah dia hidup di Wiru, ia membuka persawahan. Rupanya sebelum itu Singonjelmo sudah diberi peringatan untuk tidak membuka persawahan, karena terdapat info bahwa lahan itu adalah ‘sawah bedhil’. Jadi apabila tidak cocok dalam pemberian sesajen, maka sawah tersebut tidak subur dan sampai saat ini masyarakat masih takut akan hal tersebut. Ketakutan masyarakat Wiru tersebut membuat mereka sempat dilanda penyakit demam.

Setelah itu Singonjelmo diusir dari Wiru karena dianggap tidak menuruti apa yang dikatakan oleh masyarakat dan para guru sesepuh lainnya, Singonjelmo di usir oleh Mertongasono ke Ambarawa. Kemudian di Ambarawa Singonjelmo bertemu dengan orang-orang yang ternyata membawa hasil pertanian dari Wiru. Singonjelmo dan orang-orang ini lantas berkelahi. Perkelahian itu dimenangkan oleh Singonjelmo yang berhasil membuat lawan-lawannya jatuh mati. Lalu Singonjelmo pergi ke suatu daerah yang bernama Parakan yang juga merupakan wilayah pertanian. Di Parakan inilah Singonjelmo mulai menata hidupnya kembali.

Singonjelmo ini bukan pula orang pertama yang membuka Desa Wiru, ia hanya tamu yang datang ke Wiru untuk berguru. Namun, namanya sudah sangat terkenal di masyarakat Desa Wiru. 

Nama Wiru diperoleh dari orang-orang sakti atau wali-wali yang dulu lewat dan akan membuat masjid di daerah Wiru (sekarang di depan SD 01). Akan tetapi ketika proses pembuatan masjid masih berjalan dan belum selesai, tiba-tiba ada orang yang menabuh lesung sebagai pertanda bahwa hari sudah mulai pagi. Hal tersebut mengakibatkan pembangunan masjid gagal diselesaikan.

Ada lima orang yang dipercaya memiliki peran dalam asal usul terbentuknya Desa Wiru. Lima orang ini adalah Mbah Gendung, Wongsongerto, Wongsoaito, Nogoyono dan Kertojoyo.

Dahulu di Desa Wiru terdapat tradisi ledek atau tayub yang sangat digandrungi oleh masyarakat. Namun pada suatu waktu ada lurah atau kepala Desa Wiru yang tidak suka akan adanya tradisi tersebut, sehingga tradisi ledek atau tayub dihapuskan. Ledek tidak hanya dihilangkan di Dusun Krajan saja, dusun lain seperti Mojo dan Jrebeng pun tak lagi diperbolehkan memainkan tradisi tersebut. Pamong atau perangkat desa di tiga dusun itu semua adalah anak dari lurah Wiru.

 

ASAL USUL DUSUN MOJO

Dahulu kala Dusun Mojo masih dalam keadaan hutan, sebelum akhirnya dilakukan babat alas dan kemudian dijadikan dusun. Orang yang melakukan babat alas tersebut bernama Mbah Sabar yang berasal dari Surakarta Hadiningrat.

Mbah Sabar dulunya adalah prajurit dari Pangeran Diponegoro. Namun, pada saat Pangeran Diponegoro tertangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Makassar, semua prajurit yang tidak terbunuh pergi ke wilayah-wilayah yang sekiranya tidak didatangi oleh Belanda untuk bersembunyi. Mbah Sabar bersembunyi dari Belanda tidak seorang diri, dia membawa istrnya yang bernama Nyai Brintik. Dari tempat persembunyiannya ia sudah pernah tertangkap oleh Belanda dan mendapat banyak pukulan sampai badannya luka-luka, tetapi ia masih bisa bertahan hidup karena diobati oleh sang istri. Mbah Sabar dan Nyai Brintik dikarunia tiga anak yang diberi nama Mertodikromo atau Mentrik, Singokumbang dan Riwok.

Ketika Mbah Sabar ingin melakukan babat alas, ia banyak menemukan pohon mojo di wilayah tersebut. Oleh sebab itu Mbah Sabar memberi nama wilayah itu dengan sebutan Mojo. Pohon mojo ini memiliki buah berukuran besar, berwarna hijau dan berbentuk bulat, akan tetapi buah ini tidak dapat dimakan karena rasanya yang pahit.

Selain itu terdapat satu alasan lagi mengapa Mbah Sabar memberi wilayah tersebut nama Mojo, hal ini karena dia sangat mengagumi seorang kiai yang pada saat itu adalah teman dari Pangeran Diponegoro yang kebetulan bernama Kiai Mojo. Jadi terdapat dua alasan mengapa Mbah Sabar menamai wilayah tersebut dengan nama Mojo. Dusun Mojo ini sudah ada kurang lebih hampir dua abad. Mulai ditemukan pada masa perang Diponegoro yaitu tahun 1825-1830 dan masih ada hingga sekarang.

           

ASAL USUL DUSUN PELEM

Orang yang datang pertama kali ke Pelem adalah orang dari Demak tepatnya Desa Ngaluran. Dusun Pelem sudah ada dari zaman Kerajaan Demak yaitu sekitar tahun 1400-an. Orang tersebut bernama Djoyoyudho. Dia merupakan seorang prajurit dari Kerajaan Demak, tujuan ia datang ke Pelem adalah untuk mencari kehidupan baru. Djoyoyudho memiliki pasangan yang sangat cantik, namun istri Djoyoyudho tersebut juga disukai oleh Raja Demak pada saat itu. Akibatnya istri Djoyoyudho terpaksa hidup bersama Raja Demak.

Djoyoyudho berpura-pura menjadi seorang pengemis untuk dapat menemui istrinya. Akhirnya Doyoyudho bertemu untuk membuat kesepakatan dengan istrinya. Dia meminta kepada istrinya untuk pindah ke tempat saudaranya di Wonokerto. Mereka bersepakat untuk pindah ke tempat saudara Djoyoyudho yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Desa.

Sesampainya di Wonokerto, saudara Djoyoyudho memberikan satu wilayah kepadanya agar ia memulai hidup baru. Nama wilayah tersebut adalah Grenggengan (sebelum menjadi Pelem). Akhirnya dia memutuskan untuk berkelana ke wilayah yang diberikan oleh saudaranya dan memutuskan untuk menetap di sana.

Seiring berjalannya waktu, banyak yang datang ke wilayah tersebut dan akhirnya menjadi suatu pemukiman. Djoyoyudho menjadi asok glondong pengareng areng atau orang yang dimuliakan, karena ia dinilai sebagai orang pertama yang membentuk wilayah tersebut menjadi suatu pemukiman atau desa.

Pada saat itu Djoyoyudho  memiliki peliharaan berupa kerbau jantan atau pelen yang dia rawat dan dijaga. Pelen tersebut sangat dialem atau dimanja oleh Djoyoyudho. Oleh karena itulah, nama Grenggengan kemudian diganti menjadi Pelem dari kata pelen dialem yang hingga saat ini masih melekat dan akrab disebut Dusun Pelem.

Djoyoyudho memiliki empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Anak pertamanya perempuan yang tidak memiliki keturunan, anak kedua bernama Sastroyudho, anak ketiga bernama Wiryoyudho, dan anak keempat bernama Singoyudho. Sampai saat ini keturunan-keturunan dari Djoyoyudho dan anak-anaknya masih terus menjalin silaturahmi antar keluarga. Keturunan-keturunan tersebut ada yang berdomisili di luar Desa Wiru bahkan di luar Kabupaten Semarang.

 

ASAL USUL KEDUNG LARAN

Asal usul Kedung Laran dimulai dari perjalanan eyang Mertongasono untuk membuat tempat ibadah. Mertongasono merupakan seorang syekh dari Selo Miring atau Gogodalem. Ketika ia ingin membuat tempat ibadah ia berkholwah atau bermediasi di Gunung Semirang, yang sekarang terletak di sebelah barat Pembangkit Listrik Jelok. Dari persemedian itu ia mendapatkan wangsit atau ilham dari Allah SWT agar menebang kayu jati untuk dijadikan gehtek atau perahu rakit. Dari Gunung Semirang ia lalu menaiki perahu tersebut, sebelum memulai perjalanannya dengan rakit Mertongasono sempat berbicara pada rakit itu “He… gethek kayu, rancakan ngendi anggonmu mandeg lan minggir menyang sisihe kali, mengko panggonan kuwi lan kayune bakal arep tak gawe masjid”. (Hei… rakit kayu, dimana nanti tempatmu berhenti dan menepi dipinggir sungai, disitulah tempat yang akan dijadikan sebagai masjid).

Di tengah perjalanan tiba-tiba gethek itu berhenti dan hanya berputar-putar di situ saja, tetapi tidak lama kemudian gethek itu mulai berjalan lagi. Tempat tersebut oleh Mertongasono disebut dusun Bajangan, yang dalam Bahasa Jawa memiliki arti tidak jadi.

Beberapa saat kemudian setelah gethek tersebut berjalan mengikuti arus sungai sampailah di suatu tempat. Pada kali ini gethek ini benar-benar berhenti dan menepi di pinggir sungai. Mertongasono kemudian mengangkat gethek ke daratan. Setelah itu ia bersemedi kembali meminta petunjuk dari Allah SWT agar dapat memberi nama tempat tersebut. Setelah ia mendapat ilham dari Allah SWT akhirnya ia memberi nama tempat itu Kedung Laran.

Nama Kedung Laran diambil dari Bahasa Jawa yang berarti kelaran-laran atau kesengsaraan, karena menurut Mertongasono dari perjalanan nya menuju Kedung Laran membutuhkan banyak pengorbanan. Maka di tempat inilah nanti akan di bangun masjid Kedung Laran.

 

ALBUM